Dewan Keamanan PBB pada tanggal 23 Maret 1949
memerintahkan UNCI untuk pelaksanaan membantu
perundingan antara Republik Indonesia dan Belanda.
Dalam pelaksanaan tugas tersebut akhirnya berhasil
membawa Indonesia dan Belanda ke meja perundingan,
delagasi Indonesia diketuai Mr Moh Roem sedangkan
Belanda oleh Br Van Royen.
Pada tanggal 17 April 1949 dimulailah perundingan
pendahuluan di Jakarta yang diketuai oleh Merle
Cochran, wakil Amerika Serikat dalam UNCI. Dalam
perundingan selanjutnya Indonesia diperkuat Drs Moh
Hatta dan Sri Sultan Hamengkubuwono IX.
Setelah melalui perundingan yang berlarut-larut
akhirnya pada tanggal 7 Mei 1949 tercapat persetujuan
yang kemudian dikenal dengan nama Roem-Royen
Statements.
Isi persetujuan adalah sebagai berikut:
Delegasi Indonesia menyatakan kesediaan Pemerintah
RI untuk:
1. Mengeluarkan perintah kepada pengikut Republik
yang bersenjata untuk menghentikan perang gerilya.
2. Bekerjasama dalam mengembalikan perdamaian dan
menjaga ketertiban dan keamanan.
3. Turut serta dalam Konferensi Meja Bundar di Den
Haag dengan maksud untuk mempercepat penyerahan
kedaulatan yang sunguh dan lengkap kepada negara
Indonesia Serikat dengan tidak bersyarat.
Pernyataan Belanda pada pokoknya berisi:
1. Menyetujui kembalinya pemerintah Republik Indonesia
ke Yogyakarta.
2. Membebaskan semua tahanan politik dan menjamin
penghentian gerakan militer.
3. Tidak akan mendirikan negara-negara yang ada di
daerah Republik dan dikuasainya dan tidak akan
meluaskan daerah dengan merugikan Republik.
4. Menyetujui adanya Republik Indonesia sebagai bagian
dari negara Indonesia Serikat.
5. Berusaha dengan sungguh-sungguh supaya KMB
segera diadakan setelah pemerintah Republik kembali ke
Yogyakarta.
Hasil perundingan Roem-Royen ini mendapat reaksi
keras dari berbagai pihak di Indonesia, terutama dari
pihak TNI dan PDRI, ialah sebagai berikut:
Panglima Besar Angkatan Perang Republik Indonesia
Jenderal Sudirman pada tanggal 1 Mei 1949
mengeluarkan amanat yang ditujukan kepada
komandan-komandan kesatuan memperingatkan agar
mereka tidak turut memikirkan perundingan, karena
akibatnya hanya akan merugikan pertahanan dan
perjuangan.
Amanat Panglima Besar Sudirman itu kemudian disusul
dengan maklumat-maklumat Markas Besar Komando
Djawa (MBKD) yang meyerukan agar tetap waspada,
walaupun ada perundingan-perundingan yang
menghasilkan persetujuan.
Perkiraan TNI terhadap kemungkinan serangan dari
pihak Belanda tidak meleset. Pasukan-pasukan Belanda
yang ditarik dari Yogyakarta dipindahkan ke Surakarta.
Dengan bertambahnya kekuatan Belanda di Surakarta
dan akibatnya Letnan Kolonel Slamet Riyadi yang
memimpin TNI di Surakarta memerintahkan
penyerangan-penyerangan terhadap obyek-obyek vital
di Solo. Di tempat lain pun perlawalan gerilya tetap
berjalan, tanpa terpengaruh oleh perundingan apa pun
hasilnya.
Penghentian tembak-menembak
Bersamaan dengan berlangsunya Konferensi Inter-
Indonesia pada tanggal 1 Agustus 1949 di Jakarta
diadakan perundingan resmi antara Wakil-wakil RI BFO
dan Belanda di bawah pengawasan UNCI yang
menghasilkan Persetujuan Penghentian Permusuhan.
Presiden selaku Panglima Tertinggi Angkatan Perang RI
melalui Radio Republik Indonesia di Yogya pada tanggal
3 Agustus 1949 mengumumkan perintah menghentikan
tembak-menembak, hal serupa dilakukan pula oleh
Jenderal Sudirman, Panglima Besar TNI. Pada hari yang
sama, AHJ Lovink, Wakil Tinggi Mahkota Kerajaan
Belanda sebagai Panglima Tertinggi Angkatan Perang
Belanda di Indonesia memerintahkan kepada serdadu-
serdadunya untuk meletakkan senjata, yang berarti
kedua belah pihak menghentikan permusuhan secara
resmi yang pelaksanaannya diawasi oleh KTN dari PBB.
Juga dibicarakan bahwa nanti TNI akan menjadi inti
dari pembentukan APRIS (Angkatan Perang Republik
Indonesia Serikat) yang anggota-anggotanya terdiri
bekas KNIL, dan anggota KL (Koninklyeke Leger) akan
kembali ke negerinya (Nederland).
Di samping rasa syukur bahwa perjuangan bersenjata
telah berakhir, di kalangan masyarakat terdapat pula
rasa tidak puas. Memang terbukti bahwa Belanda telah
meninggalkan bom-bom waktu yang akan mengganggu
ketenteraman bangsa Indonesia di dalam usahanya
untuk mengisi kemerdekaan.
Ya, bom-bom waktu itu berupa pemberontakan-
pemberotakan serdadu-serdadu KNIL antaranya; di
Bandung APRA-nya Westerling, Pemberontakan Andi
Azin di Makassar dan Pemberontakan RMS (Rakyat
Maluku Selatan) tapi syukurlah semuanya dapat
dilumpuhkan oleh TNI/APRIS.
Selasa, 11 Februari 2014
Roem roijen
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar